KEMERDEKAAN Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 bukan hadiah dari bangsa penjajah, akan tetapi ditebus melalui tetesan air mata, pertumpahan darah dan bahkan jiwa sekalipun. Peristiwa 23 Januari 1946 merupakan salah satu bentuk perjuangan rakyat Luwu dalam mempertahankan Kemerdekaan dari belenggu penjajahan. Berikut kilas balik Perjuangan Rakyat Luwu, 23 Januari 1946
Seluruh Kepala Daerah yang ada di Tana Luwu (Luwu, Kota Palopo, Luwu Utara, dan Luwu Timur termasuk Tana Toraja) termasuk Pejabat penting dari Provinsi Sulawesi Selatan, Tiap tanggal 23 Januari memperingati hari perjuangan rakyat Luwu. Sejarah perjuangan rakyat Luwu bagi masyarakat Tana Luwu menjadi momentum yang cukup penting sepanjang zaman bagi masyarakat Luwu khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Peristiwa 23 Januari 1946 merupakan salah satu rangkaian proses perjuangan bangsa Indonesia yang cukup panjang. Di dalamnya terdapat berbagai faktor dan variabel-variabel sosial, politik, ekonomi dan lain-lain. Sejarah perjuangan rakyat Luwu, 23 Januari sebagai wujud nyata kebangkitan dan kesadaran masyarakat Luwu dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia yang dipelopori oleh Pemuda dan Pemerintah Kerajaan Luwu. Dua hari sesudah Proklamasi Kemerdekaan yaitu pada tanggal 19 Agustus 1945 jam 23.00 malam atas prakarsa tujuh orang pemuda di Palopo, Andi Makkulau Opu Dg. Parebba (alm.), M. Yusuf Arief (alm.), Andi Achmad, Mungkasa (alm.), Andi Tenriadjeng (alm), H. Abd. Kadir Daud (alm.), dan M. Guli Dg. Mallimpo (alm.), membentuk suatu organisasi yang bernama “Soekarno Muda”.
Tujuan dari organisasi ini adalah mengadakan perampasan senjata dari tangan Jepang untuk membela Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. Pada keesokan harinya, tujuh pemuda tersebut menghadap Paduka Andi Djemma Datu Luwu sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan Luwu pada waktu itu. Dalam pertemuan yang berlangsung selama empat jam, diambil keputusan untuk mengirim delegasi ke Makassar yang menunjuk M. Sanusi Dg. Mattata sebagai wakil Pemerintah dan Andi Makkulau mewakili pemuda menghadap DR. Ratulangi yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Sulawesi. Maksud dari pengiriman delegasi asal Luwu ini adalah untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan dan petunjuk tentang negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan.
Selama dua hari delegasi tersebut kembali dari Makassar dan membawa hasil bahwa benar Bung Karno dan Bung Hatta telah memprolamirkan 17 Agustus 1945 ke seluruh dunia. Untuk itu rakyat Luwu harus membelanya sampai tetesan darah penghabisan. Demikianlah, semangat perjuangan rakyat Luwu terus dikobarkan mulai dari Kota Palopo sampai ke distrik-distrik atau kesatuan-kesatuan pergerakan di seluruh pelosok desa, kampung dan gunung-gunung. Meskipun badan-badan atau kelompok-kelompok perjuangan ini beraneka ragam, tetapi mempunyai tekad dan tujuan yang satu yakni, “Merdeka atau Mati”. Sebagai langkah pertama dilakukan rakyat Luwu ketika itu adalah mengadakan perampasan senjata oleh segenap kesatuan lasykar masing-masing. Khusus Pusat Komando sasaran perampasan senjata di tangsi lama.
Selain itu, diadakan pusat latihan Pemuda yang diambil dari tiap-tiap Desa atau Kampung. Setelah latihan dikembalikan ke desanya/kampungnya masing-masing guna melatih Pemuda-pemuda di daerahnya. Sementara di Makassar sendiri telah diduduki tentara Nica dan mulai melakukan peranannya untuk mengembalikan kekuasaannya ke Indonesia. Ketika itu terdengar kabar bahwa Nica akan mengadakan Konfresi Raja-Raja di Makassar. Atas prakarsa Andi Djemma Datu Luwu, diadakan Konfrensi Raja-Raja di Watampone. Dalam Konfrensi tersebut, Paduka Andi Djemma Datu Luwu mengeluarkan pernyataan: “Luwu berdiri di belakang Rebuplik Indonesia, daerah Luwu adalah daerah yang tak terpisahkan dengan Republik Indonesia.”
Setelah konfrensi tersebut, kemudian disusul dengan konfrensi Pemuda di Sengkang. Salah satu keputusannya ialah apabila salah satu daerah diserang musuh, maka daerah lain harus bergerak untuk mencegah dan memecah belah kekuatan musuh. Pada awal bulan Oktober 1945 tentara Sekutu dalam hal ini Australia menduduki Kota Palopo di bawah pimpinan Mayor Right dengan tugas melucuti senjata Jepang. Atas hasil pertemuan antara sekutu dengan kerajaan Luwu, tentara Sekutu menjelaskan bahwa mereka hanya melucuti tentara Jepang, hal mana diterima Kerajaan Luwu. Namun demikian Kerajaan Luwu tetap tidak menerima Nica yang datang untuk mengembalikan penjajahan. Situasi ini tentunya menimbulkan ketegangan antara tentara Nica dengan Pemerintah kerajaan Luwu. Pada saat itulah, peranan dan sikap yang patriotik lasykar Pemuda Larompong sebagai pengawal pintu gerbang masuk di wilayah Kerajaan Luwu dapat membendung dan menghalau terobosan konvoi pasukan Nica. Hambatan Pemuda Larompong ini telah membuat kesulitan Konvoi tentara Nica untuk menerobos wilayah Kerajaan Luwu.
Makanya Tentara Nica tersebut mencari jalan alternatif lain yakni melalui Enrekang-Toraja untuk sampai di Palopo sebagai ibu Kota Kerajaan Luwu. Setelah berada di Luwu, ajakan Sekutu mula-mula berjalan biasa, tetapi lama kelamaan situasi agak tegang karena tentara Sekutu sudah mulai memperlihatkan belang sesungguhnya. Sebab ketika itu tentara Sekutu yang dibencengi Nica mulai mengingkari janjinya. Menyikapi masalah ini, Pemerintah Kerajaan Luwu kembali melakukan pertemuan dan mengambil keputusan bahwa keamanan kota dan sekitarnya dipertanggungjawabkan oleh Polisi Istimewa dibawah pimpinan Andi Achmad yang terdiri dari bekas-bekas Heiho. Keadaan kota Palopo ketika itu tidak menentu, disana sini sering terjadi perkelahian antara Pemuda dan tentara Nica KNIL. Sementara itu, tentara Nica menjalankan Politik adu dombanya sehingga berhasil mempengaruhi beberapa kaum bangsawan.
Andi Muhammad Kasim sebagai Sullewatang Ngapa di Kolaka memimpin gerakan Pemuda. Andi Muhammad Kasim bersama dengan lasykarnya berhasil mengumpulkan senjata api sebanyak 80 pucuk. Pada tanggal 19 Nopember 1945 pasukan ternyata Nica di bawah pimpinan Letnan Boon dari jurusan Kendari. Pasukan Nica ini mendapat perlawanan hebat dari Pemuda-pemuda Kolaka. Bahkan Letnan Boon sebagai Komando tentara Nica saat itu berhasil ditawan. Atas peristiwa ini, Nica kembali melakukan taktik liciknya dengan mengajak Pemerintah Kerajaan Luwu untuk berunding. Hasilnya, Letnan Boon yang ditawan ditukar dengan pemuda-pemuda Luwu yang ditawan Australia.
Sementara di Palopo dan sekitarnya, Nica semakin memperuncing keadaan. Tentara Nica saat itu melakukan teror terhadap warga. Tak segan-segan tentara penjajah ini melakukan penyiksaan fisik terhadap penduduk termasuk mengotori rumah-rumah ibadah. Melihat sikap Nica yang semakin beringas tersebut, Pemerintah bersama Pemuda Luwu mengambil keputusan bahwa Nica bersama antek-anteknya harus diusir dari Tana Luwu khususnya dan Indonesia pada umumnya. Akhirnya tanggal 23 Januari 1946 pukul 03.00 dinihari, rakyat Luwu yang gugur dalam melumpuhkan musuh. Pemuda ketika itu berhasil menguasai kota palopo sampai tanggal 25 Januari 1946. Mendapat serangan yang begitu dahsyat dari rakyat Luwu, tentara Nica yang bermarkas di Makassar mengirim bala bantuan yakni sebuah kapal perang untuk menggempur habis-habisan Kota Palopo dari udara. Setelah Kota Palopo dikosongkan oleh Pemuda, maka tentara Nica melakukan pendaratan. Untuk menghindari banyak rakyat Luwu jatuh korban, Sri Paduka Datu Luwu bersama Permaisurinya dan seluruh perangkat kerajaan luwu serta pimpinan kelasykaran memutuskan untuk mengadakan perlawanan dari hutan-hutan dengan cara bergerilya.
Demikan perjuangan pemerintah kerajaan Luwu bersama dengan rakyatnya dihutan-hutan dengan cara bergerilya sampai kesulawesi tenggara (Latou) menyebrang melalui Malangke. Disinilah (Latou,red) Sri Paduka Datu Luwu menjalankan roda pemerintahan dan memimpin perlawanan rakyat luwu dalam mengusir penjajahan di Tanah Luwu. Untuk menyempurnakan organisasi perjuangannya, maka dibentuklah PKR Luwu. Sehingga tidak ada cela di Tana Luwu yang tidak luput dari perlawanan rakyat.
Konsolidasi perlawanan terakhir pemuda ialah Masamba Affair yang sampai getarannnya di Konfrensi Meja Bundar di Denhak Belanda. Perlawanan Pemuda Masamba yang dikenal dengan Masamba Affair ini secara politis telah membuka mata dunia bahwa Indonesia Timur masih ada perlawanan rakyat . Perjuangan rakyat Luwu ini dikukuhkan dengan piagam penghargaan angkatan perang Republik Indonesia tanggal 05 Oktober 1951.
Sumber : Hasrumjaya.blogspot.com