Kamis, 27 September 2012

Sejarah Perjalanan Kota Belopa


Labelopa, demikian penduduk setempat menyebut nama kota Belopa sampai pertengahan tahun enampuluhan yang sekarang menjadi Belopa, ‘La’-nya sudah sirna ditelan perjalanan masa.

Kota Belopa ini diresmikan menjadi ibu kota kabupaten Luwu pada tanggal 13-2-2004 silam. Hal penetapan ini diresmikan gubernur Sulawesi Selatan H.M Amin Syam. Kejadian ini sekaligus dirangkaikan pelantikan bupati baru Luwu pada saat itu, Basmin Mattayang, menggatikan Dr Kamrul Kasim yang berakhir masa jabatannya.

Setelah tentara nasional, TNI meninggalkan Luwu Selatan pada pertengahan tahun limapuluhan, kawasan ini dikuasai oleh DI/TII yang dipimpin oleh Abdul Qahar Mudzakkar. Pada akhir tahun lima puluh, tentara nasional kembali memduduki regio selatan Luwu ini dengan menduduki kota-kota kecil Belopa, Bajo, Cimpu dan Suli. Kemudian dua tahun setelah itu, selanjunya mereka menduduki Larompong.

Ketika tentara nasional mengosongkan kawasan selatan Luwu, rakyat memilih bebas menentukan pilihan. Memilih dua jalan, akan tinggal ditempat atau ikut bersama dengan tentara
nasional meninggalkan regio Selatan Luwu ke kota Palopo dan sekitarnya.

Rakyat yang memilih tidak ikut dengan tentara nasional saat dikosongkannya kawasan selatan Luwu pada waktu itu, otomatis bergabung dengan rakyat TII. Yang menguasai kawasan Luwu diluar kota Palopo. Dan malahan menguasai hampir seluruh pedalaman Sulawesi Selatan dan Tenggara.

Saat tentara nasional menduduki Belopa, rakyat yang ikut ke Palopo pada saat pengosongan, diangkut kembali ke kampung halaman mereka. Mengikuti tentara yang menduduki kota-kota yang disebutkan diatas.

Mereka serta merta memulai hidup baru dengan berusaha mengatur penghidupan mereka dari titik nol. Penulis mengatakan titik nol, karena tempat yang didatangi ini, dapat dikatakan kosong, tidak ada rumah.

Ketika mereka kembali ke Belopa dan kawasan selatan dari kota Palopo dan sekitarnya, mereka diangkut melalui jalan laut, dengan kapal dan pengangkutan militer yang dikenal pada saat itu dengan nama ‘landen’.

Landen inilah yang menonda perahu-perahu yang memuat penduduk, ulak-alik antara Palopo dengan Ulo-Ulo. Ulo-Ulo ini adalah satu-satu pelabuhan pendaran dari seluruh rakyat yang kembali ke kawasan Selatan.

Mengapa mesti melalui jalan laut, pada hal jalan darat hanya lima puluhan kilo meter dari Palopo ke Belopa. Hal ini dapat dan mudah dimaklumi, karena hubungan darat, terputus. Jalan raya yang menghubungkan dari Palopo ke Makassar terputus. Semua jembatan, besinya terendam dalam air sungai, dirusak DI/TII dan badan jalanan poros jalanan ini, pada tempat tertentu digali. Sehingga untuk melalui jalan darat harus berjalan kaki.

Tetapi untuk jalan kaki, tentara nasional sudah memperhitungkan resiko, bahaya dan maut yang menghadang mereka kalau hal ini dilakukan. Apa lagi membawa rakyat yang mungkin ribuan orang jumlahnya, jadi bukan pilihan yang tepat.

Dalam perjalanan, sudah dapat dipastikan akan disergap oleh anggota DI/TII  yang menguasai kawasan ini, mulai dari Balambang sampai ke wilaya Kabupaten Wajo.

Langka pertama yang mereka lakukan dikampung halaman mereka setelah mereka tiba, adalah membangun rumah. Rumah yang dibangun ditempatkan dalam lingkupan yang di kelilingi oleh benteng dan pos-pos TNI.

Khusus di Belopa, ditempatkan pos dipinggiran perumahan penduduk. Misalnya di Balimbing Belopa dua, Radda, disebelah Selatan jembatan Belopa kearah Senga, di Pabburinti arah utara dan titik-titik tertentu yang dianggap rawan dari sergapan DI/TII.

Selain dari membangun rumah, tentara nasional bekerja sama dengan rakyat sesegera mungkin membangun gedung-gedung sekolah ditempat-tempat bekas tempat sekolah rakyat, sebelum Belopa dan kota kecil lainnya ditinggalkan dahulu. Sebelum dikosongkan karena pemerintah menarik tentaranya. Untuk ditempatkan kedaerah lain yang rawan dari pemberontakan.

Karena pemberontakan PRRI-Permesta di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi-Utara dan DII di Jawa-Barat yang mesti ditumpas habis. Dengan demikian pemerintah membutuhkan banyak tentara dan memprioritaskan menumpas yang lain lebih dahulu dari pada DI/TII dari Kahar Mudzakkar.

Waktu itu, penulis masih mengingat beberapa sekolah rakyat atau SR. Begitulah nama dari sekolah dasar atau SD sekarang. Sekolah rakyat yang ada di Belopa dua berdekatan, sebelah selatan jembatan Belopa, sebelah Timur jalan raya.

Kemudian disusul SR lainnya kejurusan Bajo. Kemudian di Bajo juga sudah dibangun sekolah rakyat. Hampir bersamaan waktunya dibangun juga sekolah rakyat di Cimpu.

Selain dari pada itu, didirikan pula satu sekolah menengah pertama SMP, yang kemudian menjadi sekolah menengah pertama negeri Belopa. Tempat berdiri gedungnya di Pabburinti. Didekat jembatan Pabburinti, sebelah Timur jalanan. SMP negeri Belopa inilah, merupakan sekolah menengah pertama, yang pertama hadir disebelah selatan Kabupaten Luwu waktu itu.

Pada masa itu, untuk kegiatan jual-beli kebutuhan masyarakat diadakan pasar dipinggir jalan, sedikit sebelah sebelah utara dari pasar centeral Belopa sekarang.

Untuk mengatur roda pemerintahan, berdiri kantor yang pada mulanya bernama kantor kondinator pemerintahan, yang kemudian menjadi kantor kecamatan, yang berdiri dipinggir lapangan, sebelah Barat lapangan sepak bola Belopa.

Pada tahun 1962, rakyat dari DI/TII mulai berbaur dengan rakyat kota, istilah dari dari rakyat yang ikut dengan tentara yang kembali menduduki kota-kota kecil. Pada awal-awal pembauran dua kelompok penduduk dalam masyarakat, memunculkan istilah ‘Rakyat kota dan Rakyat Hutan’.

Dua istilah ini merupakan cemohan satu dengan lainnya. Tetapi perjalanan masa, dalam waktu beberapa bulan saja, istilah ini akhirnya sirna ibarat embun ditelan panas.

Beberapa tahun kemudian bermuculan beberapa sekolah menengah pertama yang bernama SMI (sekolah menengah Islam) yang berstatus swasta untuk menampung murid sekolah rakyat yang tammat yang tidak dapat diterima dan ditampung di SMP negeri.

Pertengahan tahun enam puluh berdiri juga SMAN, sekolah menengah atas negeri Belopa yang pertama. Sekolah ini berlokasi disebelah selatan musallah jususan ke Senga, sebelah barat jalan raya.

Begitulah akhirnya perjalanan masa Belopa ibu kota kecamatan Bajo ini mekar dan membesar, sehingga menjadi ibu kota kabupaten Luwu, setelah Luwu dimekarkan menjadi empat Kabupaten dan kota, malah kelak mungkin menjadi lima kabapaten, termasuk Luwu Tengah.

Oleh: Hamus Rippin